Entah mengapa malam ini terasa sangat berat bagiku. Entah karena ragaku yang mulai melemah karena penyakit sial ini atau memang jiwaku sudah memang tak punya nyali lagi untuk menaklukan hari- hari esok lagi. Tapi itu semua hanyalah prakiraan bodoh yang tak etis dijadikan dasar dari masalah ini, dan juga hanya pendramatisiran keadaan ini. Tapi yang kurasakan semuanya sangatlah berat berusaha memenuhi semua obat dan semua kebutuhan raga ini dengan keadaan sakit seperti ini tak ada satu pun bantuan. Tapi memang ini mauku, memang inilah aku, selalu dan berusaha untuk melakukan semuanya sendiri dan tak akan mengadu pada siapa pun.
Tersentak aku ketika melewati sebuah perempatan lampu merah. Mataku berhenti memandang tepat dibawah lampu merah itu ada seorang anak kecil sedang duduk termenung dibawah guyuran air hujan sambil memeluk setumpuk koran yang mungkin daritadi pagi belum habis terjual. Sungguh suatu pemandangan yang luar biasa menyedihkan bagiku karena malam itu jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat dua puluh lima menit. Tapi anak sekecil itu masih menjajakan korannya di tengah derasnya hujan. Diamana orang tuanya? Dimana keluarganya? Mengapa dia dibiarkan terlantar seperti itu? Itulah pertanyaan langsung seketika terlintas di benakku. Lampu merah pun berganti lampu hijau aku pun bergegas mengeluarkan beberapa uang yang tersisa di sakuku dan memberikan padanya. Lalu, mulai memacu lagi laju kendaraanku karena hujan semakin menjadi.
Dan sesampainya di rumah aku selalu membayangkan si anak kecil tadi itu dan menyadari bahwa semua yang kualami masih tidak ada apa- apanya jika dibandingkan yang anak sekecil itu rasakan. Di umurnya yang sebegitu mudanya dia merasakan pahitnya kehidupan. Seharusnya anak sekecil dia malam itu sudah tidur nyenyak dan menikmati indahnya masa sekolah di esok paginya. Tapi semuanya sangatlah berbanding terbalik dengan yang kulihat saat itu.
Mungkin saat ini aku sangat berdosa pada Tuhan karena yang kulakukan hanyalah mengeluh dan mengeluh hanya itu yang kubisa dan itu yang selalu terasa untuk sesaat ini. Tanpa sedikit pun mau melihat keadaan di sekelilingku, tanpa mau merasakan apa yang orang- orang kurang beruntung dariku rasakan, dan tanpa mau berusaha mencoba sekuat tenaga dengan sabar dan berjiwa besar menghadapi segalanya.
Dan menyerah pada saat ini hanyalah tindakan bodoh seorang pecundang busuk. Karena masih banyak lagi diluar sana orang- orang yang tidak beruntung yang bernasib jauh lebih buruk dariku. Semuanya pasti terasa sangat menyakitkan bagi mereka, semuanya pasti akan terasa sangat perih bagi mereka.